Matahari meredupkan sinarnya di atas stasiun Gambir, Jakarta. Waktuku tidaklah sempit berlari mengejar waktu, karena hadirku lebih awal dari schedule keberangkatan kereta menuju kota Malang. Pandanganku nanar memandangi jalur tempat keretaku akan berlalu.
Kereta api eksekutif Biru Malam (aka. Bima) jurusan Jakarta-Surabaya, menggeliatkan tubuhnya. Geliat rel menggesek jalurnya, berderak-derak membisingkan gendang telinga.
Dua orang berbadan tegap, berpotongan rambut cepak berusaha meraih pegangan pintu. Langkah cekatannya dihalang-halangi seorang petugas KA berseragam biru yang menutup jalan mana mereka menuju. Ia bermaksud menghalangi, lantaran keduanya tidak memiliki tiket.
Sepintas seolah-olah keduanya akan memenangkan pertarungan melawan satu. Ditepiskannya tangan-tangan kuat yang hendak meraih pegangan pintu. Dihalanginya dengan badan orang-orang yang selangkah lagi hendak meloncat masuk sambil berkata: “Ada tiketnya???” Tanya petugas. “Ada! Didalam” jawabnya asal bunyi.
“Maaf bapak-bapak, kalau nggak ada tiket beli dulu, maaf,maaf!!!” Namun laju kereta yang bertambah seperti deret ukur itu, tidak memihaknya. Desakannya nyaris menghempaskan tubuhku, yang hanya selangkah darinya. Kereta itu kemudian menghilang dari pandangan, meninggalkan kedua orang yang tertegun dalam kekecewaan. Ia, petugas kereta itu, sukses seperti Marzuki Ali menutup sidang parlemen walaupun dihujani interupsi. 1 – 0 untuk PT. Kereta Api.
¤
Sayup-sayup terdengar orang bertransaksi dengan petugas sesaat saat keretaku telah duduk manis pada jalurnya. Tak kuacuhkan mereka, namun kudengar sepintas lalu, sejumlah angka disebutkan. “Rp. 235.000”. Diriku tenggelam dalam ramainya perebutan masuk pintu gerbong.
Keretaku adalah “Eksekutif Malam Gajayana” rute Jakarta Gambir – Malang Kota Baru yang baru saja membawaku. Ini adalah keberangkatanku untuk kali kedua dalam kurun satu minggu. Keadaannya hiruk pikuk seperti pasar didalam gerbong kereta, tanpa kumengerti apa yang dijualnya.
Kursi tunggal 1C di gerbong lima ku berada tepat didepan rangkaian restorasi, sebuah gerbong pelayanan makanan dan minuman untuk beristirahat. Sejenak kuamati segerombolan orang yang tak mempunyai nomor kursi sibuk berkoalisi dengan petugas berkumis tebal melenting, badannya tinggi besar, karismanya memancar laksana Fidel Castro, Diktator Cuba, tapi logatnya medok macam orang Jawa, Tukul Arwana.
Kudekati salah satu penumpang, ia sumringah seperti bersalah. Namun ia segera berkelit membela diri bahwa ia naik dengan membayar.
Tak kuminta & tak kutanya, ia menunjukkan sobekan kertas “Karcis Suplesi” dengan latar belakang merah bertuliskan tangan Rp. 235.000.
Berselisih sekitar seratus ribu rupiah lebih murah dari tiket loket bernomor kursi, penumpang jenis ini jelas berbeda dengan dua pria tegap diatas.
“Ndak ada nomor kursinya, tapi bayarannya resmi. Pesan di loket sudah habis.” Tukasnya. Aku mengangguk tanda mengerti.
Suasana “ramai kaki lima, menjajakan sajian khas berselera” berlanjut diatas komando pria berkumis dan kawan-kawannya. Ia lah satpol pp penggusur atas kursi yang terisi padahal seharusnya kosong, lantaran penumpangnya baru akan naik di perhentian berikutnya. Entah Cirebon, Purwokerto, Yogyakarta, ataupun Solo Balapan.
Ia pula sutradara bagi kursi kosong yang ditempati orang yang tidak direstuinya. Pengaturannya begitu rapi dan sunyi. Kudengar ia berbisik memberikan kode nomor kursi. Kudapati gerbong restorasi yang dihiasi jajaran penumpang Rp.235 ribu menurun kepadatannya.
Koalisi ala gerbong kereta menemui keadilannya laksana politisi Senayan menentukan Gubernur Bank Indonesia: Darmin Nasution mufakat tanpa voting.
PT. KA vs Penumpang: 1 – 1. dashboard waktu: menunjukkan waktu 3 jam dari kota Jakarta. Tepatnya kota Cirebon.
……………..dapet pertamax………….
Heheh.. selamat je….
kok ga ada potonya… orang2 yang berkoalisi itu?
heyrann.. ga ada ya sesuatu di negri yang bisa dibeli dengan harga yang halal dan resmi?
ati2 dijalan yaa…
Iya. Gak ada photonya.
Rasanya dua kejadian itu menyiratkan koalisi bisa dibangun dari akar, tapi sayangnya ada celah yang bisa dimanfaatkan dari jalur non resmi.
om kalau ke jakarta ketemuin blue dong.hehehe
salam hangat dari blue
Temuin .. boleh..
Kopdar getoo , 🙂
potret buram transportasi kita
potret buram orang-orag republik
dari DPR sampai kuli pada minta naik gaji
dari pejbat sampai rakyat sibuk korupsi
weleh…. weleh……
Winant,
Mekanismenya nggak transparan. Mungkin kalo semua orang tau bisa naik langsung dengan biaya murah, akan lebih kurang nyaman kereta dengan ‘pangkat’ eksekutif itu.
Wach… Topiknya jadi Sepur terus nich.. mentang2 yang bolak-balik numpak sepur….
Btw. penumpang yg dpt tiket suplesi itu bener bayar lho.. dan dpt form pengganti tiket, kalo ada operasi itu diterima koq. namun apakah duitnya masuk ke pt. kai ato ke kantung pribadi itu yg gak tahu…he..
Kacihan juga yg dpt tiket suplesi, sometime bayarnya sama tapi gak dpt duduk atau fasilitas yg sama. mgkn krn hari yg padat penumpang jd gak dpt kereta, drpd gak jadi jln mending gak dapat duduk.. itu fikirnya sptnya…
Hai Hary Bakso,
Rasanya dari komentarmu, Mas Hary benar2 sering bolak balik dan tau celah dengan berkereta api.
Mungkin hal seperti itu bisa diatur lebih transparan lagi, supaya nggak merugikan banyak pihak.
Thanks atas sharingnya yang jeli, Mas Hary Bakso.
sedih.. ga petinggi.. ga dimana2 semua ramai jadi politisi! Kapan negeri ini akan berjaya kembali??
Hmm.. Noui,
Begitulah potret negeri ini. Masih banyak celah yang harus dibenahi.
Woww … cerita ‘politisi dalam KA eksekutif mirip sepakterjang politisi senayan … apakah salah satu potret bangsa ini? …
si~j@ya
Begitulah potret bangsa ini, apa adanya.
Ckckck….
*geleng2*….
ya ya ya.. Kakaakin,
*Ngangguk-nganggu….
ini yang bikin negara kita tambah rusak.
Tary,
Celahnya yang harus di tutup, agar lebih transparan.
waduh…bahkan di kereta sekali pun????
paraaaaaah….
Begitulah apa adanya, Bibi Titi Teliti
minus poto namun menyiratkan makna yang besar.contoh dari sekian banyak kasus korupsi di negeri ini 😦 sampe di keretapun ckckck
Wiwin9,
Rasanya demikian. Seharusnya kalau mau dibikin mekansime yang jelas, bisa diatur dengan baik agar lebih transparan.
ini yang membuat negara kita semakin rusak
Weeh..info solo,
Commentnya sama ama Tary…
Nggak ngerti, nggak ngerti…kenapa semua gak dibuat sama aja biar adil??
Membuat sakit hati 😦
Btw, kok srg bgt naik KA sey???Malang – Jkt….
Hehehe…kalimat-kalimatnya setajam pedang To Liong To, Adelays 😛
Makelar, politisi ataupun calo, rasanya semua mempunyai kepentingan sama : membuat yang benar menjadi salah, atau malah merubah yang salah menjadi tampak benar…
Politisi gerbong kereta, kayaknya kapan-kapan saya pengen deh kenalan dengan mereka!
😀
Bintang timur,
Penggemar to liong to rupanya, hehehe. Itulah sekelumit cerita yang saya dapat saat berkereta api dengan gajayana beberapa kali. Semoga dapat menambah wawasan baru akan kenyataaan yang terjadi disana.
mba Irmaaaaaa…
ngerti To Liong To juga rupanyaaaaa…hihihi
pedang pembunuh naga…
Pendekar rajawali sakti nya ngikutin juga gak yaaa????
Kalo drama Korea kok gak mau nonton sih mbaaaaaa…*mencoba meracuni…hihihi*
beeeuuuh!
gambaran orang-orang yang tidak ingat mati ya ..begini ni..jadinya.. dengan segala daya dan upaya ngejar dunia..pdhl apa yang nak didapat kalau mati juga dikubur di liang lahat 2 x 1,5 m….kesiaaan.. semoga orang2 kyk gini cepet diberi hidayah ma Alloh…. amiin
Mas Adelays… two tumb.. very good post! ^_^
Hai uun ap kAbar?
Lama ngga nengokin blognya
Aktif dong nulis lagi
kabar baek mas…
lha dah tuuu..dah posting lagi… tengokin gih…hehehe tapi aga-aga mellow gt…hihihi
malam
p cabar bang
wah seru y jika kita bisa menikmati perjalanannya
kapan blue diajak jalan jalan,bang
salam hangatd ari blue
Salam Kenal dariku, nice artikel 😀 Sekalian mau bilang Met Puasa bagi yang puasa. Met sejahtera bagi yang gak njalanin. Semoga selamat & damai dimuka Bumi. Amin 😀
ass,wr,wb..
waahh mas adelay baru aja lewat cirebon, kok ga mampir ya, ..
salam hangat.
Bagi penumpang tentu yang penting bisa sampai tujuan, membayar dibawah tarif tentulah ada konpensasi dan konspirasi. Rejeki sekali setahun pasti dibagi. Soal dibagi rata merekalah yang tahu.